Suara Keheningan | RP. Inosensius Ino, O.Carm
Refleksi dari Kisah Para Rasul 20:17–27 dan Yohanes 17:1–11a, dalam terang kemartiran Santo Karolus Lwanga dan para sahabatnya
Ada kalimat yang jatuh dari bibir Rasul Paulus dan menggema seperti lonceng dalam ruang batin kita:
“Sekarang aku pergi ke Yerusalem, karena Roh memaksa aku…” Sebuah kalimat pendek, namun sarat makna.
Ia tidak pergi karena panggilan dari manusia. Bukan pula karena godaan panggung atau harapan tepuk tangan.
Paulus pergi karena Roh memaksa — bukan paksa dalam artian kekerasan, tetapi dorongan yang lembut dan kuat, seperti angin yang mendorong layar kapal, seperti arus yang menyeret hati seorang kekasih kepada sang yang dikasihi. Ia menjadi tawanan Roh.
Dan dalam segala belenggu yang menantinya di Yerusalem, Paulus tidak gentar. Sebab hatinya sudah tidak terikat pada kenyamanan. Ia telah merdeka dari ambisi pribadi, dari keinginan untuk hidup tenang, dan memilih jalan yang sempit namun penuh cahaya. Ia tahu bahwa penderitaan menanti. Tapi ia juga tahu: jika itu jalan yang ditunjukkan oleh Roh, maka itu adalah jalan yang benar. Saudara-saudariku, Yesus pun berjalan di jalan yang sama — dan bahkan lebih berat. Dalam Injil Yohanes hari ini, kita mendengar Dia berdoa:
“Ya Bapa, telah tiba saatnya…” Bukan saat kemenangan manusiawi.
Bukan saat kehormatan duniawi.
Tapi saat salib — saat darah akan ditumpahkan, saat tubuh akan dipecahkan, saat seluruh cinta akan dicurahkan. Namun dengarlah:
Ia tidak takut. Ia tidak lari. Ia tidak menghindar.
Yesus tidak berdoa agar salib dijauhkan, melainkan agar nama Bapa dimuliakan melalui-Nya. Ia pun telah menjadi Tawanan Roh —
Tawanan dari cinta yang taat sampai akhir, cinta yang tidak menuntut balas, cinta yang tetap mengampuni meski disalibkan.
Dan di situlah letak kemuliaan-Nya. Di situlah cahaya yang sesungguhnya memancar — bukan dari mahkota emas, tapi dari mahkota duri. Hari ini, Gereja mengenang sosok-sosok muda yang tak kalah berani: Santo Karolus Lwanga dan para martir Uganda. Mereka masih belia.
Tangan mereka mungkin masih halus, langkah mereka mungkin masih ringan. Tapi hati mereka — oh, hati mereka menyala seperti api di altar. Di bawah ancaman, mereka tidak murtad. Di bawah tekanan, mereka tidak tunduk.
Karolus, seorang pelindung dan pembimbing para pelayan muda di istana, tahu betul apa harga dari kesetiaan. Tapi ia lebih memilih dibakar hidup-hidup, daripada membiarkan api iman dalam dirinya padam. Mereka adalah bunga-bunga yang mekar di tanah penganiayaan.
Darah mereka seperti benih yang jatuh ke tanah dan kini berbuah dalam Gereja Afrika yang hidup dan bergairah. Lalu, kita yang hidup di zaman ini — apakah kita juga dipanggil menjadi tawanan Roh? Mungkin kita tidak menghadapi penganiayaan dalam bentuk nyala api atau ancaman mati. Tapi kita menghadapi api yang lain:
Menjadi tawanan Roh berarti berani berkata "tidak" pada kenyamanan yang melumpuhkan, dan "ya" pada suara lembut Tuhan yang memanggil kita ke kedalaman.
Itu berarti berkata:
"Tuhan, aku tidak mau hidup menurut keinginanku, melainkan menurut Roh-Mu." Santo Karolus, Rasul Paulus, dan Yesus sendiri telah menunjukkan bahwa jalan kasih selalu akan membawa kita kepada pengorbanan.
Tetapi justru di situlah terletak kemuliaan. Bukan di pelarian, tapi dalam pelukan salib. Bukan dalam penghindaran, tapi dalam pengurbanan. Bukan dalam kemegahan dunia, tapi dalam kesetiaan yang hening.
Maka hari ini, mari kita merenung dalam keheningan hati: Tuhan, bila Engkau menghendaki aku menjadi tawanan-Mu, jangan bebaskan aku dari kasih-Mu. Jika kehendak-Mu membawaku ke jalan yang sempit, jangan izinkan aku memilih yang luas namun kosong. Bila salib adalah tempat perjumpaan dengan-Mu, ajarilah aku memanggulnya dengan cinta. Sebab hanya dengan menjadi tawanan Roh,
kita akan benar-benar bebas —
bebas dari diri sendiri,
dan bebas untuk mengasihi, seperti Yesus telah mengasihi.