1 min dibaca
05 Jun
05Jun
Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm

Sepanjang hari, ketika tinggal di kamar dan bekerja, sering aku melemparkan pandangan ke laut lewat jendela kaca kamarku. Laut itu kadang biru, tenang, dan jernih; tidak jarang bergelombang dan keruh. Itu tergantung juga pada warna langit di atasnya.

Laut itu begitu penting bagi kehidupan. Gede Prama melukiskan perjalanan hidup ini bagai hujan yang turun deras disertai angin kencang untuk menumpahkan air yang mengalir menyusuri sungai-sungai menuju ke laut.

Hujan dan badai melambangkan gejolak hasrat pikiran dan tindakan yang kerap lepas, tak terkendali. Itu lebih sering terjadi pada anak muda. Apabila air hujan itu masuk ke dalam sungai, arusnya bisa lebih tenang dan terarah. Itulah gambaran manusia yang matang dan dewasa. Namun, air itu masih bisa menerjang dan mungkin membawa banjir bandang.

Setelah masuk ke dalam samudra dan berjumpa dengan air dari seantero dunia, gejolaknya tidak sehebat sebelumnya. Memang samudra masih juga menunjukkan kekuatan dahsyat lewat ombak-ombaknya. Bukankah manusia lanjut usia penuh dengan gelombang pengalaman dan kebijaksanaan? Namun, lautan hanya menerima segala yang masuk ke dalamnya dan mengolahnya dengan keikhlasan.

Karakter dan kepribadian manusia model samudra ini tampak dalam diri Presiden Jokowi. Dominasi ini bukan fakta yang berdiri sendiri, melainkan cermin dari kerinduan rakyat seluruh negeri yang selama ini ditinggalkan partai, para wakil rakyat, dan pemimpin yang membiarkan rakyatnya tertinggal dan melarat.

Bukan hanya negara yang membutuhan sosok manusia berwatak samudra, tetapi semua perusahaan, organisasi, institusi, dan keluarga. Bukankah para karyawan senang mempunyai pemimpin jujur, matang, dan penuh kasih sayang? Anak-anak dalam keluarga juga mendambakan suasana harmonis dan orangtua yang hadir, penuh perhatian, dan memberikan pendidikan lewat kasih mesra.

Perjalanan hidup Presiden Jokowi melalui tahap hujan lebat dan air sungai deras yang masuk ke samudra luas. Perjuangannya bukan pertama-tama melawan orang-orang lain dan pelbagai macam faktor eksternal, tetapi menghadapi dirinya sendiri. 

Berkat keberhasilannya menaklukan diri beserta segala tuntutan nafsunya, beliau pantas duduk di posisi yang tinggi. Mengapa? Karena orang demikian hanya hidup untuk mengabdi, tidak mengambil gaji, dan lepas bebas dari segala ambisi.

“Ciri manusia yang sudah sampai di samudra hanya satu, yakni melakukan apa pun yang ditugaskan kehidupan dengan penuh cinta dan menerima hasilnya dengan penuh keikhlasan.” (Gede Prama, Simfoni di dalam diri: Mengolah kemarahan menjadi keteduhan, Gramedia, 2009: hlm.143)

Salam dan Tuhan memberkati.
SOHK, Minggu 4 Juni, 2023AlherwantaRenalam 155/23

Komentar
* Email tidak akan dipublikasikan di situs web.