Fr. Axell Iesus Wizan Maramis

Pada akhir kebaktian, Pendeta mengumumkan: “Minggu depan saya hendak berkhotbah tentang  kebohongan. Oleh karena itu, saya harap umat sekalian membaca Injil Markus, bab 17.”  Dalam kebaktian berikutnya, Pendeta bertanya:   “Siapakah di antara kita yang telah membaca Injil Markus, bab 17?”  Serentak semua yang hadir mengacungkan tangan. Tersenyumlah Pendeta itu dan melanjutkan: “Baik, sebab Injil Markus hanya memiliki 16 bab,  maka saya akan memulai khotbah.” 

Kisah di atas merupakan sebuah anekdot yang mampu mengundang  kita menyunggingkan bibir sekaligus menyinggung hati. Kisah di atas pun  mungkin dapat juga dijumpai melalui pengalaman hidup kita, yang menghantar kita untuk berefleksi, sebagai seorang yang cukup akrab karena selalu  membaca Firman Tuhan setiap hari khususnya dalam menapaki jalan panggilan hidup ini. 

St. Hieronymus | 347-420 

Ignoratio Scripturarum Ignoratio Christi Est 

“Tidak mengenal Kitab Suci sama halnya dengan tidak mengenal Kristus”  ungkap St. Hieronymus (347-420 M), yang telah berjasa dalam  menerjemahkan Kitab Suci bahasa Yunani ke bahasa Latin pada tahun 382  M atas perintah Paus Damaskus I (366-384 M), dan hasil terjemahan itupun  disebut VULGATA. Melalui pernyataan di atas, kita dapat menarik  kesimpulan bahwa untuk mengenal Kristus, yang harus dilakukan ialah  membaca Kitab Suci, Firman Allah itu sendiri. Sebuah cara yang amat  mudah bukan? Namun, di sinilah kita menjumpai kesulitannya. 

Hampir semua umat Kristen memiliki Kitab Suci. Kitab Sucinya pun  beragam, ada yang dalam bentuk cetakan, dan ada yang bisa dibaca secara online. Namun, hampir semua Kitab Suci tersebut hanyalah hiasan pada pojok doa atau rak  buku, dan juga hiasan pada layar utama ponsel pintar. Hanya segelintir umat  Kristen saja yang masih tekun membaca Kitab Suci, entah secara pribadi maupun bersama dalam kelompok. Apakah kita adalah salah satu di antara  mereka?  Ada banyak alasan yang dikemukakan oleh seseorang apabila ditanya mengapa Anda tidak suka membaca Kitab Suci. Ada juga jawaban seperti ini: karena isinya yang ketinggalan zaman. Maka, pertanyaan yang penting di sini adalah apakah benar isi pesan dalam Kitab Suci itu ketinggalan zaman? 

Deus Absconditus 

Paus Emeritus Benediktus XVI pernah mengungkapkan “... Kitab Suci  bukanlah sesuatu dari masa lalu, Tuhan tidak berbicara pada masa lalu,  tetapi berbicara pada masa kini. Dia berbicara kepada kita hari ini ...” Bagaimana caranya agar kita dapat memahami isi Kitab Suci yang dianggap  masih relevan di masa sekarang? “Gratia supponit naturam” (“Rahmat  diberikan lewat hal-hal biasa dalam hidup sehari-hari”) kata St. Thomas Aquinas. “Allah itu tersembunyi”, dan untuk menyingkapkan selubung  samaran itu, kita harus mengintip melalui celah  hati kita. Sebab, Allah bersemayam dalam hati kita serta menggemakan Firman-Nya melalui laku tapa sehari-hari. Apa yang kita impikan dan  mengukirnya dalam sanubari akan mengalir melalui tutur tingkah laku yang ramah terhadap  sesama.  

Namun, kenyataannya tidak semudah membalikan telapak tangan. Kita seringkali enggan untuk mengintip melalui celah hati itu,  bahkan takut dipandang sebelah mata. Namun itulah tantangan saat ini untuk menghadirkan Firman Tuhan di zaman yang penuh serbaneka. Tuhan  tidak hanya tinggal di atas awan-gemawan, alam surgawi,  melainkan di atas tanah tandus dunia ini bahkan di dalam hati kita yang penuh kebobrokan ini. Maka, bagi kita yang senantiasa ‘mengatupkan  tangan’ jangan lupa untuk ‘mengulurkan tangan’ agar tidak ‘mengepalkan  tangan’ terhadap sesama, melainkan ‘merentangkan tangan’ terhadap sesama untuk menolong dan berbagi kasih. Pada saat inilah ‘sabda’ (ucapan) tidak sekedar berhenti diucapkan, tetapi sungguh menjadi ‘daging’ (tindakan) yang  menggerakkan hati melalui tangan.